Kisahnya membentuk rampak kacapi di SD Negeri Gunung Gede, berawal dari rasa prihatin, semasa ada soal ujian kenaikan kelas, tentang kacapi, alat seni tradisi Sunda yang tidak bisa dijawab anaknya, Sang Prameswari Tribuana Tunggal Dewi. Naluri “kesundaanya” tergugah.
Diapun segera menghubungi guru seni di sekolah anaknya, Didin Saefudin, untuk membeli kacapi, hanya sekedar mengenalkanya. Meskipun tidak bisa memainkan, rasa jatuh cinta terhadap alat seni tradisi yang selali dimainkan dengan suling itu, terus tumbuh, namun hanya sebatas dalam hatinya saja.
Ketika Kepala sekolah yang baru, Mohammad Wahyu, menyodorkan program budaya dan Go Green yang berbasis lingkungan di SD Negeri Gunung Gede, Retna atau Mamah Sang, segera mengajukan dirinya untuk memegang program budaya, khususnya Rampak Kacapi. Bak Gayung bersambut, Mohammad Wahyu pun langsung mengiyakan.
Renita pun segera menyusun program, yang paling utama adalah bagaimana menyediakan alatnya, ide cemerlangpun timbul, dengan sistim arisan, 10 buah kecapi bisa diperolehnya. Tepat 22 Desember 2012, Rampak Kacapi SDN Gunung Gede diluncurkan.
“Kami sangat bersyukur dan sangat berterima kasih kepada Bapak Wahyu yang memberi kesempatan bagi program Rampak Kacapi ini,”ungkap Retna yang didampngi suaminya, Didi orang yang berperan sangat banyak dalam pendirian rampak kacapi tersebut.
Tawaran manggung pun mengalir dengan derasnya, meskipun baru seumu jagung dan kawih yang dikuasai belum banyak, kelpmpok ono tercatat pernah unjuk kabisa di Hotel Savoy Homan Bandung dalam Pelatihan IDI Jawa Barat (2013), di RCTI program Idola Anak di tahun yang sama, Liputan 6 Roadshow SCTV,Hotel Salak dalam Pementasan Budaya Jepang, Cimanggis Square Depok, dan berbagai tempat lainnya.
“Terakhir kami manggung di Kemuning Gading Kota Bogor, dalam PWI Award peringatan HPN tingkat Kota Bogor, atas undangan PWI Perwakilan Kota Bogor,”paparnya.
Langkahnya untuk memajukan Rampak Kacapi, mengalami hambatan, ketika Mohammad Wahyu, berpindah tugas ke tempat lain, sebab kepala SDN Gunung Baru ternyata kurang memberi tempat yang cukup bagi berkembangnya seni tradisi yang digelutinya, sekalipun selama ini nama sekolah tersebut menjadi harum. Karena selama ini selalu mengatasnamakan SDN Gunung Gede.
Dirikan Kentring Pajajaran
Karena ruang untuk berkreasi di sekolah anaknya sangat terbatas ditambah dukungan dari orang tua yang anaknya tergabung dalam Rampak Kacapi banyak yang setengah hati, akhirnya dia lebih memfokuskan untuk berkiprah di luar sekolaj Personilnya pun menyusut hanya 3 orang dari sebelas anak yang tergabung sebelumnya. Tiga orang tersebut yakni, Sang Prameswar Tribuana Tunggal Dewi dan Zhelina Mariori, pemain kacapi dan Shifa Nurul juru kawih. Sekalipun sering pentas, namun dia belum menemukan nama yang sesuai untuk nama grupnya.
“Kami berkonsultasi dengan budayawan Bogor Kang Dadang HP, lalu teripta nama Kentring Pajajaran,”ungkapnya. Nama Kentring sendiri bisa berarti petikan, tapi sejatinya diambil dari nama prameswari Sri Baduga Maharaja, yakni Kentring Manik Mayang Sunda, sedangkan Pajajaran nama sebuah kerajaan yang sangat terkenal yang pernah ada di Tatar Sunda.
Retna berharap kedepannya, Kentring Pajajaran menjadi ikon Kota Bogor, dan banyak sekolah yang mengikuti jejaknya, menciptakan rampak kacapi. (dhp/redaksi)
Leave a Comment